Di sebuah kota kecil, hiduplah seorang anak bernama Arka. Dia dulunya anak yang ceria dan baik hati, tetapi semuanya berubah setelah keluarganya menghadapi masalah keuangan. Orang tua Arka menjadi sering bertengkar, dan ayahnya, Pak Budi, mulai sering membentaknya.
Ketika Arka melakukan kesalahan kecil, seperti menjatuhkan gelas, ayahnya marah besar. Sejak itu, Arka merasa takut dan bersalah. Dia mulai berubah menjadi anak yang pemarah dan sering menyalahkan orang lain. Bahkan di sekolah, dia mulai memukul teman-temannya dan memainkan peran sebagai korban, merasa bahwa dunia tidak adil padanya.
Suatu hari, di taman dekat rumah, Arka bertemu Tante Nina, tetangga yang baik hati. Melihat wajah Arka yang murung, Tante Nina bertanya, “Arka, ada apa? Kamu tampak tidak seperti biasanya.” Setelah ragu sejenak, Arka akhirnya menceritakan semua kesedihannya.
Tante Nina mendengarkan dengan penuh perhatian dan berkata, “Arka, ini bukan salahmu. Penting untuk tahu bahwa perasaanmu itu penting dan valid.” Dia lalu mengajak Arka bertemu seorang konselor anak, yang membantu Arka belajar mengekspresikan perasaannya dengan sehat.
Tante Nina juga berbicara dengan orang tua Arka, menjelaskan dampak dari tekanan yang mereka berikan pada Arka. Pak Budi dan Bu Dini pun menyadari kesalahan mereka dan berusaha memperbaiki hubungan dengan Arka. Mereka mulai lebih sabar dan meluangkan waktu untuk mendengarkan serta bermain bersama Arka.
Perlahan, Arka kembali menjadi anak yang ceria. Dengan dukungan dari orang tuanya dan bantuan konselor, ia belajar memaafkan dan memahami bahwa semua orang bisa membuat kesalahan. Suatu malam sebelum tidur, ibunya membacakan afirmasi positif, “Aku adalah anak yang istimewa dan berharga. Aku dicintai apa adanya.”
Arka pun menemukan bahwa cinta dan pengertian bisa menyembuhkan luka terdalam, dan meskipun hidup penuh tantangan, dukungan keluarga dapat membuat segalanya lebih baik.
Cerita ini menyoroti pentingnya dukungan dan pemahaman dalam membantu anak-anak pulih dari trauma emosional yang mereka alami.